Monday 13 July 2015

The Land of the Clouds

This is the land of the rain
leaving the sun a bitter smile in pain.
No place for him to cast his dazzling shine.

This is the land of a thousand clouds
cotton-candy like: swirl, swing, and dance.
Drawing shapes on the earth surface.

This the land in which fifty shades of grey
has a dark, yet light literal meaning:
the only colours left at the sky's palette.

This is the land where cottony sheeps
mere white specks on a lush carpet.
Roaming around chasing away the sun, grazing.

This is the land of thousand old churches
standing strong in the middle of towns and hamlets.
Challenging the time.

This is the land of the Kings and Queens
This is the land of the raging wind
This is the land of the magical dream.

All the colours left in the sky and the weather,
had enough for me to make me say
the land is the lovechild of Lassitude and Ennui
or perhaps a proof that even God can be bored.
Yet the more I stay the more I realise
it has stolen a deep corner of my tired mind.
Captivating me, endlessly.

*8 July.
On the plane, up above the British Isles, on the way between Istanbul and Birmingham. Edited and posted in Leicester*

Wednesday 8 July 2015

Tentang Nulis Random 2015

Bulan Juni ini saya mengikuti tantangan #NulisRandom2015 atas ajakan seorang teman. Beberapa minggu di awal, saya masih rajin menulis setiap hari, menyunting dan mengunggahnya di hari yang sama. Namun memasuki pertengahan bulan, catatan-catatan saya berhenti sebatas pada konsep yang sampai akhirnya menumpuk belum disunting dan belum diunggah, yang ujung-ujungnya saya unggah secara berjamaah di hari yang sama.
Too many things to do but so little time, karena kebetulan mulai pertengahan bulan ini banyak tugas mendadak yang harus saya kerjakan.

Ah. What an excuse.
Padahal saya sudah berniat mengikuti challenge-nya, tetapi justru terhambat di tengah jalan.

Menilik kembali rekam jejak saya bulan ini, menumpuknya beberapa tulisan yang akhirnya saya posting secara bersamaan di hari yang sama terjadi akibat manajemen waktu saya yang kurang baik. Saya terganggu oleh banyak hal sehingga tulisan-tulisan saya terkesampingkan dan berhenti sebatas konsep semata. Postingan saya di blog ini tergolong beruntung karena meskipun telat masih tersunting dan terunggah, sementara beberapa tulisan saya yang lain sampai saat ini masih berhenti dalam tahap konsep, tak yakin kapan akan berubah menjadi tulisan yang benar-benar tulisan... ¿(*_____*)

Yah, semoga di tahun depan, jika saya masih berkesempatan untuk mengikuti tantangan menulis random harian lagi, saya bisa benar-benar mengunggah sesuai dengan deadline.
Semangat, Ayom!! (/ >__<)/

*Ditulis di Yogyakarta, adisunting di antara Jakarta dan Istanbul, diunggah di Birmingham*

P.S.
Renungan tentang #NulisRandom 2015 ini seharusnya saya unggah tanggal 30 Juni kemarin sebagai postingan terakhir Nulis Random 2015. Namun, kembali pada cerita di atas, pada akhirnya baru sempat disunting pada 7 Juli dan terunggah pada 8 Juli 2015.
Duh... *facepalm*

Monday 29 June 2015

Ketika Aku Berjalan Sendirian di Tepi Kanal

Di sini
di mana kanal menggantikan jalan
aku berjalan menyusuri tepian.
Sendirian,
hanya aku dan langkahku
dan bebek-bebek yang bermain
bercipakan riang di tengah kanal.

Di setapak aku melangkah
menggenggam jemari dalam saku
di tengah bekunya bulan Januari.
Ini "Venezia di Belanda", kata mereka
di mana kau bisa mendapatkan
apapun yang kau cari, dari seporsi hidangan Italia
sampai secangkir teh Inggris
ratusan mil dari negara asalnya.

Hanya saja
yang kuinginkan saat ini
tak ada di sisi.

Giethoorn, akhir Januari 2015
-2°C. Berkabut dan mendung.
via Path.

Disunting dan disempurnakan di Jogja, untuk
#NulisRandom2015
#Day29

The Dream

Out of the blue, you
came to me, saves me
from people I could not recall
from event I did not remember at all.

To them you clearly said,
"She is mine."
Looked at me in the eye,
you smiled.

So real it seems
I almost cannot tell reality and dream apart
or maybe I do not want to;
for those are words I want to hear from you,
for deep in my heart I wish all of them are true:
the words,
the look,
the smile,
and of course... You.

#NulisRandom2015
#Day28

Birthday

I wish you love and laughter, happiness and cheer.
I hope that you will have fun today, and through the coming year.
I hope your aspiration will become reality,
I hope you will be exactly what you really want to be.

Ulang tahun bukanlah tentang bertambahnya usia atau jumlah lilin di atas kue. Tapi tentang bertumbuh dan melihat hidup dengan sudut pandang baru, karena Tuhan masih mengizinkanmu.
Do not think about how old you are, but how great you can be.

Selamat ulang tahun, sahabat. Happy belated birthday.
Best wishes for you, always.
Oh, and for the little angel in your tummy as well... ;)

*for Dita Hendrasari*

#NulisRandom2015
#Day27

Sahabat

Hari ini, Jumat 26 Juni, saya bertemu dengan dua sahabat yang lama tak bertemu. Keduanya adalah gadis sederhana namun sungguh penuh isi, yang tak suka berdiskusi di kedai-kedai yang fancy. Saya sungguh rindu pada mereka, pada malam-malam yang kami habiskan di angkringan sampai pagi menjelang hanya untuk membahas kebijakan-kebijakan aneh pihak otoritas, pada obrolan yang mencakup segala subyek tanpa pilih-pilih, pada masa ketika saya masih romantis idealis.

Sebut saja namanya Tika. Perempuan muda dengan semangat membara, dengan pemikiran jauh ke depan namun sayang sering terpinggirkan. Karena dianggap tak sejaman. Namun sungguh, dia budayawan dan antropolog yang sangat brilian. Saya sungguh geregetan ketika sebuah lembaga penyedia beasiswa Indonesia menolak dan meremehkan aplikasinya dengan alasan jurusan religi berbasis antropologi budaya yang dia ambil dianggap tidak populer, mengesampingkan fakta bahwa sebuah universitas terkemuka di Inggris sudah menerimanya, bahkan sudah ada profesor yang berminat membimbingnya.

Berkali tawaran datang dari negeri seberang, menawarinya beasiswa dan kewarganegaraan. Tapi berkali pula tawaran itu ditolak karena merah putih masih berkibar di dada. Namun jika negara tetap tak mau melihatnya, bisa jadi sebuah permata berharga akan lepas lagi dari genggaman.

Yang satunya sebut saja Aya. Gadis jawa lemah gemulai, tapi lihai. Saat ini tengah mengejar passionnya tentang ASEAN di sebuah kampus terkemuka di Bangkok. Tak jauh berbeda dari Tika. Ditolak negara sendiri dengan alasan yang mirip, namun justru diterima dengan tangan terbuka oleh negeri tetangga. Visinya jelas, ingin maju atas nama Indonesia di garis depan dalam perang yang bernama ASEAN Community. Jika negara mendukungnya.

"Jika tak bisa dan tak mau kuperbaiki dari dalam, terpaksa akan kuperbaiki dari luar." Itu tekad bulat keduanya.

Bertemu mereka berdua mengingatkan saya pada impian romantis idealis saya ketika masih menjadi mahasiswa. Kami sama-sama generasi muda yang cukup gerah dengan kondisi Indonesia dan ingin memperbaikinya, namun cara yang kami tempuh berbeda.

Dan jika saya tak bertemu mereka, mungkin saya akan terbawa menjadi seperti kebanyakan generasi generik saat ini yang lupa akan budaya bangsa sendiri.

Sahabat, terima kasih telah membawa kembali cita-cita yang sempat terlupakan. Terbanglah jauh, karena kota ini akan selalu memeluk erat saat nanti kalian kembali.

Jogja, angkringan dekat Puro Pakualaman.
Disunting dan disempurnakan dalam perjalanan ke kota sebelah.

#NulisRandom2015
#Day26

Random Thought

A: The most important thing is not what you do. It is what you are.
B: No. What you do defines what you are.
C: Err... I think it is not "what you do", but "the way you do".

Suddenly I woke up this morning with this quote from a movie I do not remember the title. And this thought did not leave me for the whole day... :O

#NulisRandom2015
#Day25

Good Morning

Good morning!
What a nice day!

Through the sun hides behind the clouds,
it will always be good mornings,
because I have you as the sun in my heart :)

*tribute to Neko chan*

#NulisRandom2015
#Day24

Tuesday 23 June 2015

Tuhan Tahu, tapi Menunggu


Mungkin semuanya karena faktor "kebiasaan". Bisa jadi saya memang orang yang terbiasa selo dan slow, yang terbiasa memiliki waktu ekstra, yang terbiasa hidup nyaman dan santai di jalan:
...di mana transportasi bukan menjadi beban pikiran;
...di mana berangkat sekolah, kuliah, maupun bekerja dalam tenggat waktu 5 menit sebelum "jam deadline" pun tidak akan pernah terlambat;
...dan di mana berangkat ke bandara dalam waktu 1,5 jam dari jadwal lepas landas pun masih punya waktu lebih dari cukup untuk check in lalu ngopi cantik sebelum boarding.

Saya butuh waktu lima tahun untuk sepenuhnya memahami ini.

Lima tahun lalu saya sangat berkeinginan untuk mengejar impian, oleh karenanya saya melamar pekerjaan satu di kantor impian yang memang berada di Ibukota Negara yang sangat dinamis.
Di sisi lain, saya juga melamar pekerjaan dua yang berada di mantan Ibukota Negara yang santai dan nyaman.
Sungguh dua kota yang sangat bertolak belakang.
Ini mungkin terdengar songong, tapi lamaran pekerjaan nomor dua waktu itu memang hanya sebentuk keisengan mengisi waktu luang, yang bahkan bukan termasuk dalam daftar rencana B, C, maupun Z milik saya. Simply put, sekedar out of curiosity dan mengikuti ajakan teman.

Tapi sepertinya "seisi semesta men(i/du)kung" sehingga akhirnya saya bekerja di tempat saya saat ini.

Pengumuman pekerjaan satu sangatlah terlambat, jauh dari jadwal semula. Sementara, tanpa dinyana pekerjaan dua mengumumkan hasil seleksinya lebih cepat. Saya bimbang, karena tenggat konfirmasi pekerjaan dua sangat dekat, sementara pekerjaan satu tak kunjung ada kabarnya sedikitpun.

Maka saya putuskan untuk mengambil pekerjaan dua, dengan pertimbangan daripada lepas dua-duanya. Tetapi, tak disangka pekerjaan satu mengumumkan hasilnya tepat sehari setelah saya mengonfirmasi kesediaan bekerja pada pihak penyelenggara seleksi pekerjaan dua, yang bila dibatalkan akan ada konsekwensi legal menanti.

Duh.
Saya menyesal. Sungguh menyesal.
Bahkan dalam lima tahun terakhir ini masih sering saya menyesali keputusan yang waktu itu saya ambil. Saya masih sering berpikir, seandainya begini, seandainya begitu.

Banyak orang mengingatkan saya bahwa semestinya saya bersyukur karena pekerjaan dua juga tak mudah didapat. Saya tahu, karena ada banyak hal baik yang terjadi sebagai konsekwensi saya memilih pekerjaan dua.
Tetapi tetap saja di dalam hati masih ada rasa yang mengganjal, karena saya merasa bahwa semua yang terjadi dalam hidup saya too easy dan too smooth dan saya menyesal tidak men-challenge diri saya sampai batas yang saya inginkan.

Lalu hari ini, 23 Juni 2015, sepertinya Tuhan menjawab penyesalan saya secara gamblang tanpa tedeng aling-aling.

Sebelum saya mengalami kejadian hari ini, banyak teman saya yang kebetulan bekerja di Ibukota (dengan bidang yang tak jauh beda dari perkerjaan satu yang dulu saya incar) selalu komplain bahwa mereka ingin kembali ke kota asal karena merasa bahwa jalanan ibukota tak bersahabat. Saya tahu, tapi tetap jauh dalam hati saya merasa tak yakin karena, berdasar pengalaman saya ke sana sejauh ini, kemacetan Jakarta tak parah amat dan masih bisa saya tolerir (mungkin waktu kunjungan saya ke sana selalu bertepatan dengan off peak hour sehingga jalanan hanya padat merayap, atau mungkin juga karena faktor waktu kunjungan yang biasanya hanya singkat. Yang jelas, komplain ini tak membuat penyesalan saya berkurang). Ditambah lagi dengan masih banyak teman saya lainnya yang menikmati bekerja di kota ini.

Lalu hari ini, untuk pertama kalinya saya mengalami kemacetan yang di luar dugaan. Menurut saya parah, karena jarak tempuh yang seharusnya 1-1,5 jam menjadi hampir 2,5 jam. Namun sepertinya itu hal yang wajar bagi bapak supir taksi yang saya naiki, karena tak terlihat beliau gelisah (atau apakah karena lama kemacetan berbanding lurus dengan angka argo maka beliau terlihat tenang? Entahlah), sementara saya sudah berasa di neraka, baik karena faktor ego dan juga faktor argo.

Saya menuju bandara, tapi ke-emosi-an saya bukan karena panik dikejar pesawat (karena menuruti saran teman, saya berangkat 5 jam sebelum jam lepas landas). Saya hanya tak suka menunggu sambil terjebak di dalam mobil tanpa bisa berbuat apa-apa, di tengah sekumpulan mobil lain yang juga mengalami hal serupa. Saya lebih baik menunggu lama di bandara, karena paling tidak saya bisa jalan kesana kemari atau sekedar duduk mengamati penumpang lain yang lalu lalang.

Tapi nyaris tiga jam di jalan itu...
Oh. My. God.
Simply unbearable.
Baru sehari. Baru sekali. Namun saya rasanya sudah seperti ini. Apa jadinya jika saya bekerja di sana selama lima tahun ini?
Mungkin saya akan berubah menjadi besi.

Hampir tiga jam terbuang sia-sia,
dan sekian ratus ribu rupiah juga melayang sia-sia.
(Bukan nominalnya yang saya sesalkan, karena saya akan tanpa pikir panjang menghabiskan nominal yang sama di Periplus. Saya hanya tak rela spending sebanyak itu berubah menjadi asap. Yah, kekesalan saya juga sedikit banyak karena saya menyesal telah memilih taksi daripada Damri, thanks to a certain somebody -- tapi itu tak akan jadi cerita di sini sebab saya masih cukup kesal untuk mengingatnya.)

Sungguh, saya rasanya ingin meledak. Tapi tak mungkin saya marahi bapak sopir taksi karena kemacetan bukan salahnya, juga karena jalan itu adalah jalan terdekat menuju bandara; maka saya jadi kesal pada diri sendiri.

Mungkin saya jadi stres sendiri karena, seperti yang saya tulis tadi di awal, saya lahir dan besar di kota yang transportasinya begitu nyaman, begitu pula kota lain yang menjadi tujuan wisata saya selama ini. Bahkan ketika saya mendapat kesempatan belajar pun negara yang saya tuju terkenal dengan sistem transportasi yang terpercaya.

Atau mungkin karena saya Aries, dan sepertinya saya memiliki trait utama trah pemilik rasi ini: tak bisa menunggu. Bukan berarti grusa-grusu, tapi lebih ke cenderung menyukai kepraktisan dan enggan menghabiskan waktu untuk hal yang menurutnya tidak jelas.

Dan hari ini, untuk pertama kalinya saya benar-benar bersyukur memilih pekerjaan dua.

Mungkin dulu saya menilai diri sendiri hanya dari satu sisi.
Saya yakin bahwa saya bisa menangani pekerjaan di Ibukota, tetapi saya lupa mengukur apakah saya mampu untuk menangani kompleksitas hidup di sana. Saya melupakan faktor kedewasaan emosi.
Tapi sungguh Tuhan memang lebih tahu, sehingga dicukupkanlah saja pengalaman yang tak bersahabat bagi emosi saya itu sebagai selingan dan media mengaca diri alih-alih keseharian.

Mungkin Tuhan memang menginginkan saya untuk tetap selo dan slow, membiarkan saya untuk menghabiskan waktu yang saya miliki dengan melakukan hal-hal yang saya inginkan anytime I want to without being entangled in a limited frame.

#NulisRandom2015
#Day23

P.S.
Saya salut dengan mereka yang masih bisa menjaga keseimbangan jiwa di tengah hiruk-pikuknya Jakarta.
Sungguh kalian luar biasa.

Unfixable Unfitted

I stand amid the crowds,
... like a dust swirled in a tempest,
... like a pebble dragged in an avalanche,
... like a snow flake swinged in a blizzard.

Yet,
my whole world
remains silent.

#NulisRandom2015
#Day22

There

You have been there for a while
seem not bothered to move
and I couldn't drive you away, anyway.

And to me suddenly you said,
"let's go!".
Enthusiastically.
Rocketed my hope right to the sky.

Yet when I followed
Siberia's the only homeland for all the thrill
and you were nowhere to be found.

And here I am.
Chilled to the bone.
Alone.

#NulisRandom2015
#Day21

Saturday 20 June 2015

The Sun

One of those still moments:
I was bedazzled by the sunshine,
as again he spotted me,
the merest white dust swayed on the white foamy sea edge.

The man is the sun.
He bathes this world with his light.
If his brilliance is so sweeping, then it is okay for me
to have my own small share of his warmth,
isn't it?

But you are the sun. It is always you to shine
and to sweep the whole world with your warm and dazling smile.
And when it's time for you to set
the sea is always there to hug and let you rest.

I was trying to get over this unbearable feeling
yet right now I feel like I have stomped on a landmine.

#NulisRandom2015
#Day20

Friday 19 June 2015

Madyaning Ratri

Manjing madyaning dalu
nalika pucuking ron semboja
siniram ebun angekes atising raga,
wewayangan nira kang cinipta adhedhasar pangangen
manjalma tan kena kinira.

Esem kang tansah sinungging
lan sorot netra kang amagut telenging nala,
pindha kartika kang tansah anganthi ratri
datan ilang lamun sinaput mendhung,
tansah sinawang ing sadayaning upaya.

Duh, sira kang tansah angreridhu ati
nadyan dhuhkita nala awit tan kena nyandhing,
angantu bagaskara tumurun 
tansah dalem amemuja mring Hyang Widhi,
mugya saged lampah kita pinanggih
ing ari benjang.

#NulisRandom2015
#Day19

Kanthi pitulungan mas Bima Rahardja.
Rampung kaping 5 langkung dangu katimbang anggegurit ing Basa Indonesia utawi Basa Inggris.
Inggih, kadosipun sampun jelas bilih kula kedah sinau Basa Jawi malih.

Sayap Membumi

Langit biru tempatmu berpijak
Awan putih tempatmu berhenti sejenak
Dan angin temanmu bermain.
Kau... memang tak bisa memijak tanah,
meski sekejap.
Ternyata.

Sementara,
aku senantiasa di sini
mengakar, terpaku menemani Ibu.

Maka,
kadang lihatlah ke bawah,
tapi jangan tangisi aku dari atas sana.
Aku akan selalu ada di sini
menandai tempatmu kembali,
dan aku pasti akan menangkapmu
jika suatu hari nanti langit menolakmu.

#NulisRandom2015
#Day18

P.S.
Terinspirasi oleh Melee dan Risen, sepasang saudara dari Chiaroscuro karya Ekyu.

Angkasa

dia datang karena cinta
memilih pun karena cinta

menyiram jiwa kerontang
dia kubiarkan
menyemai benih harapan
dia kuizinkan

lalu violet mekar seutuhnya
memenuhi ladang jiwa
membiru...
... lalu beku.

Luka dia membuatku
dalam sekejapnya dia datang
hanya!

Ah, jiwa yang mencinta,
bukankah kau harus siap pada luka?

#NulisRandom2015
#Day17

÷ terinspirasi oleh cerita dari meja sebelah ketika sedang makan siang beberapa hari lalu.

The Colour

Excruciating.
Tormenting.
Agonizing.
Devouring me
determinedly,
silently,
and... sans merci.

Simply,
the might of the colour...
... blue.

#NulisRandom2015
#Day16

Monday 15 June 2015

Echo of the Deafening Silence

A mute clock on the wall
screaming in despair.
Soundless, only the two of us
and a wall in between:
you are there, sleeping;
here I am, pondering.

Where are we?
to make it closer I ran the extra miles.
Or so, I thought,
because they kept telling me
I ran in an infinite harmony:
it ended where I begun.
Always.

I wish I could tell the world:
your innocent sleeping face
I want to see everyday.
Your weakness, your strength
your tears, your smile...
I want to share all of yours
only with me.
I want to be yours
and you be mine completely.

But that mute clock on the wall
still screaming in despair.
And here we are with a wall in between
wandering randomly, solely,
in our separated compatible mind.

#NulisRandom2015
#Day15

*inspired by the arrangement in Hazelwood Manor, where the three ducks afloat happily and the rabbit should share the garden with the bear*

Sunday 14 June 2015

Remorse

My dear heart,
sorry for the damage.

My dear tummy,
sorry for the butterflies.

My dear eyes,
sorry for the heavy rain.

And my dear brain,
sorry for being ignorant.


#NulisRandom2015
#Day14

P.S.
Secarik draft dari 2013 yang terselip di antara halaman-halaman buku yang terlupakan. Dilanjutkan pada 2015.

Saturday 13 June 2015

Parallel

We always walk side by side
on our own tracks to somewhere,
like a railway.
Laughing, arguing, giving comfort
for each other.

We are that close,
close enough to trade darkest secrets.
But it seems still not enough for me
to see and reach into your heart.

Yet we keep walking side by side
on our own tracks, like a railway.
And thus I keep wondering,
the day when our paths
cross each other,
will it come?

#NulisRandom2015
#Day13

P.S.
Terinspirasi oleh curcolan anak kamar sebelah

Friday 12 June 2015

Kita Begitu Berbeda

Kita begitu berbeda.
Bahkan tempat kita biasa berada juga tak pernah sama.

Di siang hari, mudah mencarimu di tempat makan yang mana. Kalau kau tidak sedang di kedai susu, cari saja di kedai para karnivora. Kau akan ada di sana bersama sahabat-sahabatmu. Menikmati sepiring sate kambing. Atau steak dengan keju. Yang mungkin akan kau akhiri dengan secangkir kopi. Atau jeruk panas.

Kala senja, akan sangat mudah menemukanmu tenggelam dalam sebuah diskusi maha penting dengan Pram. Atau dengan Ajidarma. Atau dengan Coelho. Dan bisa saja aku menemukanmu saat sedang berdebat dengan Sujiwo Tejo. Jika tidak, kau akan dapat dicari di samudera, bertualang dengan Luffy dan kawan-kawan. Tapi itu langka sekali. Jauh lebih mudah menemukanmu sedang bercakap hangat dengan Michael Jordan. Atau dengan Tintin.

Di akhir minggu, kau akan bertualang dengan sepedamu. Ke tempat-tempat yang bahkan peta pun mungkin tidak tahu. Bersama sahabat-sahabatmu. Juga. Atau, kau akan berenang sendirian. Mendinginkan pikiran. Atau, kau akan seharian bercengkerama dengan teman diskusimu yang ada di rak buku. Yang jelas, akhir minggu adalah waktu untuk dirimu sendiri dan keluargamu.

Kita begitu berbeda.
Bahkan tempat kita biasa berada juga tak pernah sama.

Kau akan menemukanku duduk termangu sendirian di kedai teh. Menikmati secangkir teh tanpa susu. Bukannya aku tak berteman, tapi sendirian bagiku lebih menenangkan. Jika aku tak di sana, cari saja di kedai vegetarian di pinggir kota. Atau di cafe cokelat di sebelahnya. Aku akan ada di sana.

Kalau kau mencariku di senja kala, suatu saat kau mungkin akan menemukanku sedang minum teh bersama Shakespeare ditemani oleh Hirata dan Rowling. Tapi kau akan jauh, jauuuuhhhh lebih sering melihatku bercanda bersama Aoyama Gosho, Yana Toboso, dan beberapa komikus lokal. Atau melihatku tersipu malu saat bicara dengan Shungiku Nakamura. Atau, kau akan menemukanku berdebat dengan Neil Gaiman dan John Green. Dan sungguh beruntung jika kau pernah mendengarku berdiskusi dengan Djenar Maesa Ayu, itu satu momen di antara seribu.

Di akhir minggu, kau bisa menemukanku di mana pun udara dingin dan tempat teduh berada. Atau, kau akan melihatku berenang riang di arus ombak dari Inggris dan Asia Timur; terpana, terpesona dan fangirling pada sejumlah pria gentlemen berbalut jas, oniichan, oppa, dan mungkin juga dongsaeng. Atau justru kau akan menemukanku di tempat-tempat yang tak terduga, karena tugas di akhir minggu mengirimku ke sana.

Sungguh, kita memang sangat berbeda.
Bahkan tempat kita biasa berada juga tak pernah sama.
Maka aku tak menyalahkan sahabat yang bertanya-tanya, bahkan menyarankan untuk berpikir ulang, karena di mata mereka belum ada titik temu pada kita. Tapi sungguh mereka juga tidak mengerti bahwa perbedaan itu yang justru membuat kita dekat. Jangan bertanya padaku, karena aku sendiri juga tidak tahu.

Yang kita berdua tahu, titik temu itu ada. Tapi aku tak mau bercerita. Biarkan saja nanti waktu yang akan mengatakannya.

#NulisRandom2015
#Day12

Thursday 11 June 2015

Pria dengan Sebuket Mawar Segar di Tangan. Bagian Dua.

Pagi itu aku hanya bilang padamu aku tidak enak badan. Sambil lalu. Hanya. Tak ada niat apapun jua. Mungkin tubuhku memang sedang protes, atau mungkin pikiranku terlalu penuh  sehingga tubuhku mengirim sinyal darurat minta istirahat. Tapi aku tak peduli kenapa yang mana. Kau juga. Yang jelas aku sakit. Sudah. Itu saja faktanya.

Dan karena sepotong pesan itu, seharian kau menghujaniku dengan sejuta tanya yang tak pernah terlontar darimu di hari biasa. Dan ada sesuatu yang membuatku tersenyum saat perlahan aku membalas pesanmu yang membanjir. Terselip di antara tanya yang terlempar, ada sedikit rasa marah yang tersampaikan.

Kau marah padaku karena kelalaianku.

Aku tahu amarahmu bukan hal yang mudah menyala. Maka, salahkah aku jika aku diam-diam bahagia dengan kemarahanmu itu? Sungguh, aku ingin sesekali kau marahi atas kesalahanku, karena aku tahu tak selalu aku berjalan lurus, dan sering pula aku melebihi batas kecepatan.

Seakan kau belum cukup membuatku tersenyum sendirian, tiba-tiba saja kau menanyaiku, "Kau mau apa? Nanti aku mampir, akan kubawakan."

Pertanyaan sederhana yang mungkin terdengar biasa saja. Tapi tidak bagiku yang mendengarnya darimu, karena aku tahu bertanya seperti itu membuatmu sendiri tersipu.

Ya. Bicara denganmu sungguh tidak baik untuk jantungku. Selalu ada hal yang kau lakukan yang membuat jantungku skip a beat, lagi dan lagi.

Kau juga tahu aku lemah dalam bercerita. Maka dengan caramu sendiri, tanpa aku bicara pun, kau bisa memahami tentang isi kepalaku yang terlalu ruwet untuk diurai. Dengan caramu, kau membuat semuanya menjadi jelas apa yang harus kuprioritaskan, apa yang harus kulakukan. Dan dengan caramu pula, kau meyakinkanku bahwa aku bisa.

Ah.
Pria dengan sebuket mawar merah segar di tangan, sungguh bertemu denganmu adalah sebuah keajaiban. Dan dirimu seperti sekumpulan keajaiban-keajaiban kecil, yang semoga saja bisa mengarahkanku.



#NulisRandom2015
#Day11

Wednesday 10 June 2015

Ame no Haiku

The gleaming raindrops
play a joyful melody.
Rhythm of the day.

The song's brevity
as the sun peeps from the clouds
brings seven colours.

Rainbow of the day
hangs on the tips of green leaves
in the rain's remnants.



#NulisRandom2015
#Day10

Tuesday 9 June 2015

Somebody Told Me

Some time in the past
somebody told me:

"At some point,
have you ever had this thought:
'reaching for my dream is so difficult,
I think it is better to stop and take a rest...' ?"

Oh, please. Don't be so spoiled.

Do you know there are things you will not be able to reach
even with outstretched hands;
there are things that will fade into distance once you let it go?
People are always seeking those, and before they know,
they lost.

So, live bravely,
do not hesitate,
chase the chance,
and keep moving on.
Thus, your dream will come true.
Although the pathway you take seems rough and labyrinthine,
all lead to the exact and the same point:
your dream.

Remember,
not everything that is faced can be changed
but nothing can be changed unless it is faced."

It opens my eyes, to keep moving forward I have to be brave.
Brave to take the risk,
brave to chase the chance,
brave to face failure,
brave to admit mistake,
brave to make amends,
and... brave to hope.

#NulisRandom2015
#Day9

Monday 8 June 2015

S H E

When you walk along the seaside
she is at your side,
makes sure you know the oncoming tides.

When you stand upon the edge of the cliff and unaware,
she'll protect you, remind you to beware
so you won't fall into despair.

When you are on the top of a mountain
she is with you again.
Holds you to keep you standing on the terrain.

When you're trapped in the darkest night,
she'll find you and give you the light
so you'll find the path that is right.

The accelerator when you slow down
and the brake when you lost control
'tis the unconditional love of the one loves you the most.
Be grateful and be thankful
for when the time has come
it is now your time to be the one.

#NulisRandom2015
#Day8

Sunday 7 June 2015

Red Clouds

Ablazoned, the sky, by the red clouds, as
karma of hatred pervades the whole world;
angel comes to her stupidity,
torn apart by the Godlike mercy,
shaded the blank paper;
unconsciously puppetted, asphyxiated, o thou, by the
kafkaesque picture of this materialistic,
indifferent, and deceitful world!

Goodness not always good as it seems,
alike that pious face infidelity behind;
naked by the the stabbing rain,
groaring scream and bangs kill the ruined sky...

... the smell of blood
pervades in the air.



*Inspired by Naruto's Akatsuki.
With a lotta help from Patrick Nakajima senpai*



#NulisRandom2015
#Day7

Saturday 6 June 2015

Impulse

You are my strike
but also my shield.
You are my blitz
but also my defense.
You are my buster
but also my aegis.
You are my duel
but also my peace.
You are my calamity
but also my sanctuary.
You are my end
but also my destined seed.

I want to run to you
but also flee from you.
I want to hug you
but also kill you.

God.
How can I be so devoted
to someone so demonic angel like that?



*inspired by Gundam Seed and Gundam Seed Destiny. Some Gundams' name in the anime are in this poem as well.*

#NulisRandom2015
#Day6

Friday 5 June 2015

HIS

In his eyes I see blue sky
in his eyes I see paradise
in his eyes I see courage
in his eyes I see dreams.

In his arms it is spring breeze
in his arms it is cloud nine
in his arms it is bliss
in his arms it is home.

Through his voice I hear angel's song
through his hands I feel sunrise's warmth
and through his smile I know I am welcomed.

In his eyes I see me
in his arms it is me
through his voice I hear me
through his hands I know me
through his smile I am me.

Through him, I find
the one have been hiding for so long.
The real me.

Jogja, 5 Juni.

#NulisRandom2015
#Day5

Thursday 4 June 2015

Greetings, Love.

Good morning, my sunset breeze.
Let me touch you on the edge of the cliff.

Good evening, my morning sunshine.
Let me kiss you on the edge of my dream.


#Nulis Random2015
#Day4

Wednesday 3 June 2015

A Photograph

I am drawn in a glass dream,
embraced by that warmth,
awakened by a distant voice:
"remember me..."

A blurry picture of a faded memory
makes me mad again.

"Unforgettable."
No doubt this word revives itself,
brings your smiling figure I can't remember well.

"Hold me..."
spreads like a broken glass, this word
unfastens the seal, and
releases reminiscences.
Rocking my memory, your sweet voice,
suddenly.




*inspired by Le Portrait de Petit Cossette*

#NulisRandom2015
#Day3

Tuesday 2 June 2015

Moment

The second hand of time
rings the door bell
telling me that separation time's come

Time please stop,
time please stop.
Let me look into these eyes a little bit longer
let me hold this hand a little bit longer
let me hear this voice a little bit longer
let me stop in this lovely unforgettable moment.
Heavier than eternity
shorter than dream
this moment...



#NulisRandom2015
#Day2

Monday 1 June 2015

Tentang Pria yang Menanti dengan Sebuket Mawar Segar di Tangan

Sahabat,
jangan kau bertanya padaku tentangnya
karena aku tidak tahu entah sejak kapan dia ada di sana.
Berdiri dalam bayang, dengan bunga yang selalu segar dalam pelukan
seperti menanti seseorang pulang.

Aku melihatnya setiap hari saat aku pergi
dan dia masih ada di sana saat aku kembali.
Kadang aku melihatnya bercengkerama dengan temannya,
kadang dia termangu sendirian.
Tetap dengan sebuket mawar segar di tangan.

Kadang mata kami bertemu, lalu dia tersenyum ramah
tapi tak pernah menyapaku.
Dan mungkin karena aku malu, aku hanya bisa berdiri gagu
ragu untuk menyapanya terlebih dulu
meski sungguh aku ingin bertanya.
Seperti apa orang yang selalu dia nanti?
mengapa dia setia menanti?

Entah sejak kapan melihat sosoknya di sana
seperti sebuah keharusan untuk memulai hari.
Bertemu pandang, berbalas senyum, lalu aku berlalu.
Dan dia masih tetap setia menanti,
dengan seikat mawar segar dalam pelukan.

Suatu hari ketika aku kembali
pria di balik bayang dengan sebuket mawar segar di tangan
tak kunjung kutemukan.
“Oh, mungkin yang dia tunggu sudah pulang.”
Itu pikirku. 
Tapi aku lalu termangu.
Ada yang hilang dari hariku.


Tapi tiba-tiba saja kamu sudah ada di sebelahku.
“Selamat datang,” katamu pelan,
seperti bel yang berdering membangunkan sel syarafku,
meski aku tidak yakin kamu tahu.
Ah, aku rindu.

Lalu sebuket mawar merah segar yang selalu ada dalam pelukanmu itu,
yang selalu kau peluk dari balik bayang,
kau serahkan padaku.


Menerimanya, aku hanya bisa berbisik pelan,
“... aku pulang.”


Jogja, 1 Juni 2015

#NulisRandom2015
#Day1


P.S.
Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti challenge #NulisRandom2015, tantangan untuk menulis satu entri setiap hari, yang diperkenalkan oleh sahabat saya. Info lebih lanjut bisa dibaca di sini.

Wednesday 27 May 2015

Tomorrow, I Will Come to See You

I understand.
It is just not enough for me to simply like you 
or just to admire you.
I know. 
Yet when these pieces of feelings overflow,
I am hesitant to see you 'cause I know
in one way or another I'll end up crying.

At times when I recall
the way you talk, the way you smile,
and the way you look at me;
and your voice, your laughter
as you turn back to look at me,
a fizzy, warm feeling enfolds 
that carves a smile on my face
and erases the sadness of being alone.
Somehow.

Being stubborn, I keep swaying
between forlorn and this sparkling, bubbly feeling.
Unable to embrace both of them into my arms,
I end up hurting you more
and my heart is slowly crushed into dust
as the sun sets and day becomes dusk.

I fell in love with you, 
in a sunset filled with the scent of the wind,
I fell in love with you,
on a Sunday, filled with the sweet scent of the rain.
Yet,
I am too paralyzed to declare.

So I pray.
Once the morning light pours in 
I, with courage, will be able to say... 
... what I need to convey.




P.S.
The script above is the very-loosely-translated-and-hugely-edited version of Wakaba's song "Ashita, Boku wa Kimi ni Ai ni Iku". 
(Or, perhaps it is more appropriate to say that it is "a poem inspired by Ashita, Boku wa Kimi ni Ai ni Iku")
No particular reason why I write and upload this. 
Just a mood swing, I guess.
Or it might be because of the colour.
Blue.

Leicester, 27 May 2015

Tentang Bunga dan Waktu

Sebuah Rumah di Pinggir Kota Leicester, Akhir Mei 2015
*di sela-sela cercaan disertasi*

Tahun 2014-2015 ini banyak hal "pertama" yang terjadi. 
Pertama kali pergi lintas benua, sendiri pula.
Pertama kali "disakiti" angin yang berhembus maha dingin.
Pertama kali bertemu salju Januari lalu.
Masih banyak "pertama-pertama" lain yang kutemui, tapi itu cerita lain lagi. 
Mungkin nanti.
Yang jelas, aku ingin berbagi tentang ceritaku pertama kali bertemu musim semi.

Begitu bunga narsis yang kuning menyala mulai bermekaran di taman-taman di sekitar rumah, aku merasa bahwa musim dingin yang kelabu akan segera berlalu, pohon-pohon gundul di sepanjang jalan yang kulewati setiap kali berangkat ke kampus akan segera bertunas dan tak lagi kerontang. 
Tetapi yang aku tidak tahu adalah bahwa ternyata pohon-pohon kerontang yang aku temui tidak menghijau dengan segera.

Suatu pagi aku melewati taman di sebelah rumah, dan tiba-tiba saja pohon yang kemarin masih berupa cabang-cabang kedinginan pagi itu sudah memutih seperti berselimutkan salju. Cantik sekali. Setelah kudekati, yang memutih dari jauh ternyata kumpulan ratusan kuntum bunga-bunga putih kecil nan imut.

pohon yang berbunga di taman dekat rumah
"Bunga sakura!", pekikku riang, lalu aku tersenyum dan tertawa-tawa sendiri. Mungkin aku terlalu menarik perhatian, sehingga serombongan ibu muda dengan kereta bayi mereka yang kebetulan ada di sana dan seorang pria muda yang mengajak anjingnya jalan-jalan menengok dan melihatku dengan pandangan aneh. Mungkin mereka menganggapku weirdo karena aku terlihat begitu bahagia hanya karena pohon yang berbunga. Tapi sudahlah, toh mereka tidak mengerti bahwa saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat bunga sakura secara langsung. Selama ini aku selalu melihatnya dari buku, film dokumenter, atau kartu pos kiriman teman dari negeri seberang.

Setelah melihat secara langsung, memang bunga ini cantik sekali. Dari dekat terlihat setiap kuntumnya terdiri dari 5 helai kelopak, di tengahnya ada serumpun putik. Dari jauh, kuntumnya yang kecil-kecil menyatu membentuk kanopi putih atau merah muda. 
Simply fascinating. 
Tak heran Jepang sampai memiliki folk song (bisa didengarkan di sini) yang menceritakan tentang bunga ini. 

Namun aku tidak habis pikir juga, karena kemarin aku masih yakin bahwa pohon ini tak ada tanda-tanda akan berbunga sedikitpun, lalu seakan dalam semalam tiba-tiba... pop! Bunga di mana-mana.

Sepertinya, dongeng Kakek Sang Pemekar Bunga yang pernah aku baca beberapa waktu lalu dari sebuah laman memang benar terjadi. 
Singkatnya, pada malam hari, sang Kakek terbang dari satu pohon ke pohon lain, menebarkan abu, sambil berseru, "berbungalah, wahai pohon! berbungalah!". Maka keesokan harinya pohon itu akan penuh dengan kuntum-kuntum bunga yang bermekaran. Ajaib, bukan?


Melihat pohon sakura yang berbunga tanpa memberi tanda sama sekali, rasanya aku bisa mengerti salah satu alasan di balik keberadaan folklore itu. 
Ah, atau mungkin kita saja yang terlalu sibuk untuk melihat tanda yang diberikan sang pohon.

di dekat tempat parkir sepeda di kampus

Awalnya, aku mengira bahwa semua bunga cherry blossoms sama, namun menurut laman situs Natural History Museum, ternyata bunga sakura (paling tidak yang di Inggris) ada puluhan jenis dan semua tergabung dalam genus prunus (menurut banyak laman termasuk laman ini, konon varietas sakura yang di Jepang ada ratusan). Aku juga belakangan tahu bahwa bunga "sakura" yang kutemui bukanlah Japanese cherry blossoms karena jenis dan ukurannya berbeda; dan ternyata bunga pohon almond pun serupa dengan sakura. 
Lantas, harus kuberi nama apa bunga yang kutemui itu? Sudahlah, janganlah kau bertanya padaku apa persisnya nama bunga yang kutemui, karena aku sungguh tidak tahu (meski sudah mengikuti petunjuk dari Natural History Museum, aku masih tidak yakin dengan jenis cherry blossoms apa yang kutemui), sehingga aku akan tetap memukul rata dengan menganggapnya "sakura" (maafkan aku ya, pohon).

Aku pertama kali tiba di kota ini pada awal musim gugur ketika pohon-pohon sedang berdaun kuning bersemu merah oranye manyala, sehingga ketika musim semi tiba aku baru tahu bahwa kampusku penuh dengan sakura. 
Ada yang bunganya berwarna seputih salju, 
ada yang semburat merah muda malu-malu seperti di sebelah. 
Lucu.

Namun dari sekian banyak pohon sakura di kampus, ada satu yang bunganya seputih salju dan menarik perhatian karena dia berdiri kokoh sendirian di tepi lapangan. Suatu pagi ketika akan mengikuti kelas pagi, aku menyempatkan berhenti sejenak di bawahnya. Termangu mengamati kuntum bunga yang dihembus angin. 

"Indah, bukan? Bunga ini selalu mekar mendahului bunga-bunga yang lain di musim semi. Seakan enggan menunda lebih lama lagi untuk menunjukkan kecantikannya."  Ada seseorang yang mengajakku bicara.

"Eh?" Aku terkejut mendapati seorang pria muda tahu-tahu berdiri di dekatku, ikut berhenti untuk menikmati sakura. "Sungguhkah?", aku bertanya.

"Iya. Dan dalam waktu dua atau tiga minggu, kelopak bunga ini akan berguguran, menutupi tanah di bawahnya dengan karpet bunga. Atau dia akan terbang terbawa angin."

di sebelah gedung Astley Clarke 
 "Sayang sekali", gumamku.

"Begitukah menurutmu? Hmm... Bunga ini mekar dengan sepenuh hati dalam waktu yang singkat, lalu ketika pohon yang lain baru mulai kuncup, sakura akan gugur masih dengan kecantikan serupa tanpa memberikan waktu bagi kelopaknya untuk memudar dan berubah warna. Bukankah bunga ini kuat dan mempesona?", pria muda itu tersenyum.

"Maaf, aku mendahului karena aku sudah nyaris terlambat. Nikmati harimu, darling!" katanya sambil berlalu pergi.

Tersenyum, aku menjawab sekenanya, lalu termenung memikirkan perkataannya. 

Life span bunga ini memang singkat. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, sakura mekar sepenuh jiwa begitu kesempatan pertama untuk berbunga tiba. Sementara, pohon lain yang masih tertidur memberinya kesempatan untuk show off secara optimal tanpa ada tandingan. Lalu, ketika pohon yang lain mulai terbangun, sakura diam-diam berguguran tanpa membiarkan kelopak bunganya layu dan rusak, memberi pohon lain kesempatan untuk men-display kecantikan masing-masing.

Benar. Dari sisi lain, bunga ini kuat. Dan mempesona.
Dan aku jadi teringat dengan filosofi zen yang mengaitkan sakura dengan hidup manusia. 

Waktu di tangan kita terbatas, sehingga sudah selayaknya untuk dijalani seperti sakura: memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, 
mengejar setiap kesempatan yang ada, 
memberikan manfaat pada semua,
juga memberikan kesempatan bagi sesama,
lalu ketika tiba saatnya, semoga bisa pergi dalam keadaan mulia, gugur tanpa memudar.

Bunga ini luar biasa, kan?
Dari sekumpulan kuntum-kuntum kecil yang gemulai, ada banyak hal besar tersimpan yang kadang luput dari perhatian.

Di luar dugaan, musim semi pertamaku memberiku pelajaran berharga tentang hal yang sering terlupakan.

Tuesday 28 April 2015

Dia yang Mengejar Pelangi

Pagi tadi, 
pelangi itu tersungging di langit kelabu
menggantung di atas putihnya hamparan salju.
Tersenyum, tersipu malu.

Siang itu,
pelangi itu menyapamu
di atas dermaga tua di pinggir sungai
di antara perahu kertas 
dan secangkir cokelat panas.

Lalu sore ini,
pelangi itu mencoba merengkuhmu dalam sunyi
dalam hangatnya mentari di lembah yang menguning
di antara semerbak angin musim semi.

Namun malam nanti,
akankah pelangi kembali?

Pelangi ada di sana
dengan senyum tersungging tanpa kata
menggodamu untuk mengejarnya.
Tapi, adakah kau bisa melihat ujungnya?

Leicester, 28 April 2015.

The Colour of Love Is...

If someone asks you what the color of love is, what will your answer be? 
Red? Pink? Yellow? Blue?

Personally, I believe that the colour of love is white.

White?

Yes, just white. Simply white. 
Because any colour, no matter how subtle it is, will clearly visible and recognisable on white.

That shade of blinking pink, which one second it appears and the next disappears, is the heartbeat when I meet my loved one.

The purple lines are longing and loneliness when we are apart.

Those deep red blots appear when we have a fight because of jealousy.

The sparkling yellow in the corner are his smile and laugh.

And then… these bluish traces, which are difficult to erase, were left by the tears when we broke up.

Sometimes, it is difficult to wash away those blue traces. 
But one day, no matter how deep they are right now, another colour will come and repaint them…

Well, isn’t love like that? 
Emotional.

Anger, sadness, happiness, and joy. Sometimes it is not clear which emotion lies upon which one. And no matter how hard you try to hide the feeling, since love is white, your feeling will definitely appear…


P.S.
A repost from my old, forgotten blog with several editing.
However, the original version is in Bahasa Indonesia, written by Velisha in "Good Day Monster", Animonster Magazine #71, March 2005. Translated with several adjustments here and there.

The Wind of the Desert

Groundless fear shadows the sight
as I hear the footsteps of dark knight
approaching; The breath of coldest night
rip and freeze my soul, tear it apart in its fright,
annihilate the life, spirits, and might.

Tick-tock... tick-tock… tick-tock…
Hear! The eerie sound of that ticking clock
echoes, and on my neck Chronos put his Scythe of Time to mock!

Kaleidoscopic world with its brief bond
all will face the Eternal Bond.
Zephyr ends and turns to sandstorm now,
executes me in the midst of its howl.
Kindness is something left behind,
and replaced by desolate mind.
Grim Reaper alike, it breaks the line,
ends the world of mine.


Monday 27 April 2015

Catatan yang Tertinggal dari Hari Ibu

Beberapa waktu lalu, karena sudah merasa homesick level parah, saya menonton ulang film Sang Pemimpi, mengesampingkan fakta bahwa setiap kali menonton film ini saya selalu terhempas remuk redam ke bumi dengan sukses karena ekspektasi saya (yang ketinggian) terhadap film ini tak terjawab dan berlalu begitu saja dengan hampa.
Saya juga mencoba mengesampingkan fakta bahwa--pendek kata--dunia Sang Pemimpi, yang saya bangun berdasar bukunya, hancur luluh berantakan setelah nonton filmnya.

Bukan. Bukan itu yang ingin saya tulis.

Saya mencoba mengesampingkan kekecewaan saya pada film ini.
Karena ada satu hal yang, setiap kali menonton film ini, selalu membuat saya terdiam.
Gagu. Kelu. Rindu.

Ada satu hal yang emosi saat menontonnya sama dengan emosi saat saya baca bukunya: saat ayah Ikal pergi mengambil rapornya dan duduk di kursi belakang, lalu bagaimana Ikal berusaha berlari mengejarnya.

Saya selalu terisak pada adegan ini. Karena saya iri pada Ikal yang masih bisa mengejar Ayahnya. Masih bisa minta maaf dan perbaiki diri.
Sentimen pribadi?
Iya. Benar.

Karena saya tidak mungkin bisa mengejar Ayah saya lalu minta maaf--tak peduli betapa mati-matiannya saya mencoba.

Ayah juara satu seluruh dunia saya sudah pergi sejak saya umur 15. Hanya memberi waktu 15 tahun bagi saya untuk bersamanya (dikurangi masa balita saya, mungkin cuma sekitar 13-14 tahun yang masih bisa diingat).
Dan saya selalu berpikir itu curang. Sangat curang.

Tapi, dari waktu yang 13-14 tahun itu, ada beberapa hal yang sangat membekas.
Saya kelas 3 SMP, catur wulan terakhir. Ayah saya baru 2 minggu pulang dari rumah sakit sejak opname pertamanya. Ayah, yang tadinya gendut dan lucu, saat itu jadi kuruuuuuus banget. Dua minggu pulang, sudah memaksakan diri untuk kembali mengajar. Dan tahu-tahu menjemput saya pulang sekolah (padahal dibandingkan sekolah tempat ayah mengajar, SMP saya lebih jauh lagi~~). Waktu itu saya marah-marah ke Ayah. "Ayah baru sembuh, ngapain jemput? Saya masih bisa naik bis!" Tapi dia hanya tersenyum. Curang, kan? Saya jadi terbungkam waktu itu.

Saat lain, waktu pendaftaran SMA. Lagi-lagi Ayah mencurangi saya. Ayah berkeras menemani saya, padahal di rumah masih ada saudara yang bisa mengantar. Dan itu jadi kenangan terakhir saya dibonceng oleh Ayah, karena beberapa waktu kemudian kondisi Ayah memburuk, dan akhirnya 3-4 bulan kemudian dipanggil.

Saya selalu merasa dicurangi, karena Ayah sepertinya tak pernah memberi kesempatan bagi saya untuk membuatnya tersenyum.
Justru saya selalu membuatnya capek.

Ya.
Ayah saya selalu capek teriak-teriak menyuruh saya turun saat saya memanjat pohon di halaman.
Ayah saya juga pasti capek selalu menyuruh saya untuk pakai rok dan bertingkah sedikit "perempuan".
Ayah saya selalu bersedia memanggul saya saat saya ingin nonton labuhan di laut dekat rumah.
Ayah saya juga pasti ada menemani saat saya sedang niat untuk tidur siang, meskipun tugas beliau masih banyak.
Ayah saya selalu saya repotkan setiap kali saya ngambek saat Ibu penataran.
Ayah saya selalu membiarkan saya ngendon berjam-jam di toko buku, yang ujung-ujungnya saya merengek minta dibelikan buku ini itu (meski tidak semuanya dikabulkan, dan belakangan saya baru tahu bahwa itu adalah cara Ayah untuk menunjukkan dan membuat saya belajar bahwa tidak semua keinginan bisa dipenuhi)
Ayah saya rela naik motor ke Borobudur membonceng saya dan Kakak karena saya bilang ingin melihat Borobudur langsung dengan mata saya sendiri setelah saya tenggelam dalam buku tentang Borobudur selama berhari-hari.
Ayah saya juga yang telah mengenalkan arkeologi, candi-candi, dan museum-museum yang ada di Jogja, dan membuat saya jadi seperti sekarang ini.
Dan, it sounds simple, tetapi ayah saya rela untuk berhenti merokok sejak saat Ibu mengandung kakak saya.


Tapi itu belum semua.
Saat Ayah sudah tiada pun, saya masih belum bisa membuatnya tersenyum. 

Saya putus dengan mantan, beberapa bulan setelah Ayah pergi, dan Ayah datang dalam mimpi, membelai kepala saya, bilang bahwa saya akan baik-baik saja.
Ah, bahkan dalam mimpi pun saya masih merepotkannya, dan tak dapat kesempatan untuk minta maaf dan membuatnya tersenyum.

Ayah sudah banyak berkorban bagi saya, untuk memenuhi keegoisan putri bungsunya ini.
Dan,
...seharusnya --andai SMA saya seperti SMA-nya Ikal waktu itu-- Ayah selalu duduk di garda depan tiap kali ambil rapor, sama seperti masa sekolah saya yang sebelum-sebelumnya.
...seharusnya Ayah melihat saya lulus SMA,
...seharusnya Ayah mendampingi saya diwisuda dengan dua selempang di dada.
...seharusnya Ayah ada saat saya diterima bekerja.
...seharusnya Ayah melepas keberangkatan saya sekolah kembali ke negeri seberang.
...Seharusnya Ayah melihat semua itu. Dan Ayah akan tersenyum karenanya, lalu membiarkan saya menggila di Gramedia ( O_o Nah loh... ada kucing di balik semak~~ Nda ding, Gramed hanya sebuah konsekwensi pilihan...)

Tapi, siapa saya, hingga seenak hati mengharuskan semua itu?
...padahal saya tahu dan sadar bahwa tak semua keinginan bisa terpenuhi.

Mungkin saya kangen dengan figur Ayah.
Masa kecil saya jauh dari figur Kakek.
Kakek dari pihak Ayah telah meninggal bahkan sejak sebelum saya lahir. Kakek dari pihak Ibu pun pergi saat usia saya belum genap 3 tahun. Sementara Ayah pergi saat saya 15.

Kadang, kalau melihat Pak SBY muncul di TV, saya berpikir: Apakah Ayah saya akan seperti itu andai masih segar bugar? (Yup. Ayah saya, baik dari postur maupun wajah, memang bagai pinang dibelah dua dengan SBY--terutama hidungnya yang seperti jambu air itu, hehehehehe...)

Terlepas dari itu, kadang saya berpikir, apa yang kira-kira akan Ayah katakan jika melihat saya dari saya SMA hingga saat ini?
Apa yang akan dikatakannya jika melihat saya selama bertahun-tahun sempat dikira pria gara-gara fashion sense saya: selalu berkemeja loose yang seringnya dilapis oblong cowok, bercelana cargo, bersendal gunung, dan tak pernah memiliki rambut yang lebih panjang dari rambut mas-mas yang masih sekolah di Akmil (sering di-spike pula).

Ah, mengingat watak Ayah saya, paling dia hanya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada, dan bilang: "Oalah Dik! Ketoke aku ro ibumu ki nduwene mung anak cacah loro, wedok kabeh..." (Ya ampun Adik! Sepertinya aku dan ibumu hanya punya dua anak, itu pun perempuan semua...)

Ah, bahkan saat ini pun saya membuatnya geleng-geleng kepala lagi~~~

Mungkin, banyak orang bilang apa yang saya lakukan dan saya capai selama ini sudah cukup bisa membuat Ayah saya tersenyum. Tapi bagi saya itu belum.

Maka kawan, bersyukurlah bagi yang masih memiliki ayah-ibu. Lengkap tanpa kurang suatu apa.
Larilah pada mereka, minta maaf dan bahagiakanlah selagi masih ada waktu tersisa.
Dan memang,
Sesuatu akan terasa amat sangat berharga saat sesuatu itu telah lepas dari genggaman...

Anyway,
sejak tadi bercerita tentang Ayah melulu, padahal 
tanggal 15 Maret tahun ini kan Hari Ibu?
Hehehehe...
Tinggal di negeri yang mengirim gift dan kartu ucapan untuk segala peristiwa sudah menjadi tradisi yang membudaya, saya sedikit gegar budaya. 
Ya. Saya dibesarkan di keluarga yang kurang begitu memperhatikan big occasion selain Idul Fitri dan Idul Adha... (^__^)" 

Oleh karenanya, bagi saya, Hari Ibu, Hari Kartini, dan hari-hari lain bukanlah hari istimewa.
Hari Ibu bagi saya adalah setiap hari, selama saya masih bernafas dan masih bisa menikmati mentari pagi.
Karena Ibu saya selalu ada untuk saya setiap hari,
...melalui doa yang dia panjatkan untuk keselamatan dan kesuksesan saya,
...melalui SMS dan telepon yang senantiasa ada, menanyakan kabar saya,
...dan juga melalui kerelaannya menempuh jarak hampir 60 Km PP hanya demi bertemu saya selama 5 menit.

Jika Ibu ada untuk saya setiap hari, kenapa pula saya harus menunggu waktu khusus untuk menunjukkan bahwa saya sayang padanya?

Sama seperti Ayah, Ibu juga telah memberikan dan berkorban banyak untuk saya. Tak terhitung, tak terkatakan.
Dan bersikap "lebih baik dari biasanya" dalam sehari, tak akan sanggup mendeskripsikan betapa saya bersyukur punya super Mom seperti Ibu saya, yang sudah menjadi single fighter sejak 13 tahun lalu, yang tak pernah sekalipun saya lihat beliau bersedih.

Kata Andrea, Ayahku Ayah juara satu seluruh dunia.
tapi kata saya, Ayah Ibuku adalah Ayah-Ibu juara satu seluruh dunia.

Unpopular opinion, mungkin. Tetapi tak ada istilah Hari Ibu bagi saya.
Karena setiap hari adalah Hari Ibu.
Dan bukankah ekspresi sayang tidak mengenal batas kalender?

Sepotong Cerita Konyol dari Masa Lalu

30 November 2009. I had done a big and terrible mistake.

Nda seperti hari-hari biasanya, saya siang itu berangkat ke kampus lewat jalan belakang. Begitu sampai halaman belakang, langsung disambut sama langit yang biru --yang bahkan mendung pun tak ada-- dan angin yang berhembus pelan. Tak ada siapapun, benar-benar sepi and sunyi. It's supposed to be a great and fine day.

Tapi, keindahan itu berada di atas mata pedang yang rapuh. Bertahan hanya sekejap bagai fenomena Diamond Dust (yang nda tau, Google dewe ya)

Halaman itu tak terawat, dipenuhi semak belukar dan rerumputan. Bahkan pagar pun tak ada. Awalnya saya tak menyadari adanya keanehan di situ, sampai akhirnya sesuatu mengganggu.
Angin yang berhembus lambat laun mengantar aroma aneh yang sama sekali tak menyenangkan. Anyir, nda enak blas. Saya memperhatikan kiri kanan, mencari-cari di mana asal bau terkutuk tersebut. Dan mata saya tertumbuk pada sebuah sudut di halaman itu.

Sudut itu tidak berumput, seperti habis digunakan untuk menimbun sesuatu. Tanahnya masih terlihat lumayan baru. Karena terlalu sering membaca Conan, jadi langsung kepikiran yang tidak-tidak. Tapi... ah, paling cuma perasaan saja.

Saya memantapkan diri melangkah maju, satu, dua... dan pemandangan yang terlihat di jalan setapak itu membuat mual. Bercak-bercak darah masih tercetak di mana-mana. Tak perlu zat kimia untuk membuktikan reaksi Luminol yang pasti betebaran di situ.

Mual dengan aroma anyir (yang baru saya sadari itu adalah aroma khas darah yang muncul dari bekas pembantaian gila-gilaan) dan darah yang membekas di rerumputan, di tanah, di batu, di mana-mana, saya buruan kabur dari tempat itu, sebelum sempat diketemukan oleh orang lain. Pontang-panting, mungkin seperti Ikal-Arai-Jimbron yang dikejar Pak Mustar di opening Sang Pemimpi.

Crime scene macam apa yang sekejam itu?! Bahkan para pelakunya pun tak mau bersusah payah untuk sekedar menghilangkan jejak... Ah!

Kapok saya lewat tempat itu. Jangan-jangan sebagai saksi, nanti.... Ukh. Membayangkannya bikin tambah mual.

Setelah lumayan jauh, saya baru menyesal. Ya.
Saya sudah salah pilih jalan. Saya tak seharusnya lewat halaman belakang yang sepi macam itu. Seharusnya tadi lewat gerbang depan saja.
Sehingga tak perlu mual.
Sehingga tak perlu lari pontang-panting.
Sehingga tak perlu melewati tempat itu...








tempat...
penyembelihan sekelompok kambing dan sapi untuk dijadikan hewan kurban.