Monday 29 June 2015

Sahabat

Hari ini, Jumat 26 Juni, saya bertemu dengan dua sahabat yang lama tak bertemu. Keduanya adalah gadis sederhana namun sungguh penuh isi, yang tak suka berdiskusi di kedai-kedai yang fancy. Saya sungguh rindu pada mereka, pada malam-malam yang kami habiskan di angkringan sampai pagi menjelang hanya untuk membahas kebijakan-kebijakan aneh pihak otoritas, pada obrolan yang mencakup segala subyek tanpa pilih-pilih, pada masa ketika saya masih romantis idealis.

Sebut saja namanya Tika. Perempuan muda dengan semangat membara, dengan pemikiran jauh ke depan namun sayang sering terpinggirkan. Karena dianggap tak sejaman. Namun sungguh, dia budayawan dan antropolog yang sangat brilian. Saya sungguh geregetan ketika sebuah lembaga penyedia beasiswa Indonesia menolak dan meremehkan aplikasinya dengan alasan jurusan religi berbasis antropologi budaya yang dia ambil dianggap tidak populer, mengesampingkan fakta bahwa sebuah universitas terkemuka di Inggris sudah menerimanya, bahkan sudah ada profesor yang berminat membimbingnya.

Berkali tawaran datang dari negeri seberang, menawarinya beasiswa dan kewarganegaraan. Tapi berkali pula tawaran itu ditolak karena merah putih masih berkibar di dada. Namun jika negara tetap tak mau melihatnya, bisa jadi sebuah permata berharga akan lepas lagi dari genggaman.

Yang satunya sebut saja Aya. Gadis jawa lemah gemulai, tapi lihai. Saat ini tengah mengejar passionnya tentang ASEAN di sebuah kampus terkemuka di Bangkok. Tak jauh berbeda dari Tika. Ditolak negara sendiri dengan alasan yang mirip, namun justru diterima dengan tangan terbuka oleh negeri tetangga. Visinya jelas, ingin maju atas nama Indonesia di garis depan dalam perang yang bernama ASEAN Community. Jika negara mendukungnya.

"Jika tak bisa dan tak mau kuperbaiki dari dalam, terpaksa akan kuperbaiki dari luar." Itu tekad bulat keduanya.

Bertemu mereka berdua mengingatkan saya pada impian romantis idealis saya ketika masih menjadi mahasiswa. Kami sama-sama generasi muda yang cukup gerah dengan kondisi Indonesia dan ingin memperbaikinya, namun cara yang kami tempuh berbeda.

Dan jika saya tak bertemu mereka, mungkin saya akan terbawa menjadi seperti kebanyakan generasi generik saat ini yang lupa akan budaya bangsa sendiri.

Sahabat, terima kasih telah membawa kembali cita-cita yang sempat terlupakan. Terbanglah jauh, karena kota ini akan selalu memeluk erat saat nanti kalian kembali.

Jogja, angkringan dekat Puro Pakualaman.
Disunting dan disempurnakan dalam perjalanan ke kota sebelah.

#NulisRandom2015
#Day26

No comments:

Post a Comment