Wednesday 27 May 2015

Tomorrow, I Will Come to See You

I understand.
It is just not enough for me to simply like you 
or just to admire you.
I know. 
Yet when these pieces of feelings overflow,
I am hesitant to see you 'cause I know
in one way or another I'll end up crying.

At times when I recall
the way you talk, the way you smile,
and the way you look at me;
and your voice, your laughter
as you turn back to look at me,
a fizzy, warm feeling enfolds 
that carves a smile on my face
and erases the sadness of being alone.
Somehow.

Being stubborn, I keep swaying
between forlorn and this sparkling, bubbly feeling.
Unable to embrace both of them into my arms,
I end up hurting you more
and my heart is slowly crushed into dust
as the sun sets and day becomes dusk.

I fell in love with you, 
in a sunset filled with the scent of the wind,
I fell in love with you,
on a Sunday, filled with the sweet scent of the rain.
Yet,
I am too paralyzed to declare.

So I pray.
Once the morning light pours in 
I, with courage, will be able to say... 
... what I need to convey.




P.S.
The script above is the very-loosely-translated-and-hugely-edited version of Wakaba's song "Ashita, Boku wa Kimi ni Ai ni Iku". 
(Or, perhaps it is more appropriate to say that it is "a poem inspired by Ashita, Boku wa Kimi ni Ai ni Iku")
No particular reason why I write and upload this. 
Just a mood swing, I guess.
Or it might be because of the colour.
Blue.

Leicester, 27 May 2015

Tentang Bunga dan Waktu

Sebuah Rumah di Pinggir Kota Leicester, Akhir Mei 2015
*di sela-sela cercaan disertasi*

Tahun 2014-2015 ini banyak hal "pertama" yang terjadi. 
Pertama kali pergi lintas benua, sendiri pula.
Pertama kali "disakiti" angin yang berhembus maha dingin.
Pertama kali bertemu salju Januari lalu.
Masih banyak "pertama-pertama" lain yang kutemui, tapi itu cerita lain lagi. 
Mungkin nanti.
Yang jelas, aku ingin berbagi tentang ceritaku pertama kali bertemu musim semi.

Begitu bunga narsis yang kuning menyala mulai bermekaran di taman-taman di sekitar rumah, aku merasa bahwa musim dingin yang kelabu akan segera berlalu, pohon-pohon gundul di sepanjang jalan yang kulewati setiap kali berangkat ke kampus akan segera bertunas dan tak lagi kerontang. 
Tetapi yang aku tidak tahu adalah bahwa ternyata pohon-pohon kerontang yang aku temui tidak menghijau dengan segera.

Suatu pagi aku melewati taman di sebelah rumah, dan tiba-tiba saja pohon yang kemarin masih berupa cabang-cabang kedinginan pagi itu sudah memutih seperti berselimutkan salju. Cantik sekali. Setelah kudekati, yang memutih dari jauh ternyata kumpulan ratusan kuntum bunga-bunga putih kecil nan imut.

pohon yang berbunga di taman dekat rumah
"Bunga sakura!", pekikku riang, lalu aku tersenyum dan tertawa-tawa sendiri. Mungkin aku terlalu menarik perhatian, sehingga serombongan ibu muda dengan kereta bayi mereka yang kebetulan ada di sana dan seorang pria muda yang mengajak anjingnya jalan-jalan menengok dan melihatku dengan pandangan aneh. Mungkin mereka menganggapku weirdo karena aku terlihat begitu bahagia hanya karena pohon yang berbunga. Tapi sudahlah, toh mereka tidak mengerti bahwa saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat bunga sakura secara langsung. Selama ini aku selalu melihatnya dari buku, film dokumenter, atau kartu pos kiriman teman dari negeri seberang.

Setelah melihat secara langsung, memang bunga ini cantik sekali. Dari dekat terlihat setiap kuntumnya terdiri dari 5 helai kelopak, di tengahnya ada serumpun putik. Dari jauh, kuntumnya yang kecil-kecil menyatu membentuk kanopi putih atau merah muda. 
Simply fascinating. 
Tak heran Jepang sampai memiliki folk song (bisa didengarkan di sini) yang menceritakan tentang bunga ini. 

Namun aku tidak habis pikir juga, karena kemarin aku masih yakin bahwa pohon ini tak ada tanda-tanda akan berbunga sedikitpun, lalu seakan dalam semalam tiba-tiba... pop! Bunga di mana-mana.

Sepertinya, dongeng Kakek Sang Pemekar Bunga yang pernah aku baca beberapa waktu lalu dari sebuah laman memang benar terjadi. 
Singkatnya, pada malam hari, sang Kakek terbang dari satu pohon ke pohon lain, menebarkan abu, sambil berseru, "berbungalah, wahai pohon! berbungalah!". Maka keesokan harinya pohon itu akan penuh dengan kuntum-kuntum bunga yang bermekaran. Ajaib, bukan?


Melihat pohon sakura yang berbunga tanpa memberi tanda sama sekali, rasanya aku bisa mengerti salah satu alasan di balik keberadaan folklore itu. 
Ah, atau mungkin kita saja yang terlalu sibuk untuk melihat tanda yang diberikan sang pohon.

di dekat tempat parkir sepeda di kampus

Awalnya, aku mengira bahwa semua bunga cherry blossoms sama, namun menurut laman situs Natural History Museum, ternyata bunga sakura (paling tidak yang di Inggris) ada puluhan jenis dan semua tergabung dalam genus prunus (menurut banyak laman termasuk laman ini, konon varietas sakura yang di Jepang ada ratusan). Aku juga belakangan tahu bahwa bunga "sakura" yang kutemui bukanlah Japanese cherry blossoms karena jenis dan ukurannya berbeda; dan ternyata bunga pohon almond pun serupa dengan sakura. 
Lantas, harus kuberi nama apa bunga yang kutemui itu? Sudahlah, janganlah kau bertanya padaku apa persisnya nama bunga yang kutemui, karena aku sungguh tidak tahu (meski sudah mengikuti petunjuk dari Natural History Museum, aku masih tidak yakin dengan jenis cherry blossoms apa yang kutemui), sehingga aku akan tetap memukul rata dengan menganggapnya "sakura" (maafkan aku ya, pohon).

Aku pertama kali tiba di kota ini pada awal musim gugur ketika pohon-pohon sedang berdaun kuning bersemu merah oranye manyala, sehingga ketika musim semi tiba aku baru tahu bahwa kampusku penuh dengan sakura. 
Ada yang bunganya berwarna seputih salju, 
ada yang semburat merah muda malu-malu seperti di sebelah. 
Lucu.

Namun dari sekian banyak pohon sakura di kampus, ada satu yang bunganya seputih salju dan menarik perhatian karena dia berdiri kokoh sendirian di tepi lapangan. Suatu pagi ketika akan mengikuti kelas pagi, aku menyempatkan berhenti sejenak di bawahnya. Termangu mengamati kuntum bunga yang dihembus angin. 

"Indah, bukan? Bunga ini selalu mekar mendahului bunga-bunga yang lain di musim semi. Seakan enggan menunda lebih lama lagi untuk menunjukkan kecantikannya."  Ada seseorang yang mengajakku bicara.

"Eh?" Aku terkejut mendapati seorang pria muda tahu-tahu berdiri di dekatku, ikut berhenti untuk menikmati sakura. "Sungguhkah?", aku bertanya.

"Iya. Dan dalam waktu dua atau tiga minggu, kelopak bunga ini akan berguguran, menutupi tanah di bawahnya dengan karpet bunga. Atau dia akan terbang terbawa angin."

di sebelah gedung Astley Clarke 
 "Sayang sekali", gumamku.

"Begitukah menurutmu? Hmm... Bunga ini mekar dengan sepenuh hati dalam waktu yang singkat, lalu ketika pohon yang lain baru mulai kuncup, sakura akan gugur masih dengan kecantikan serupa tanpa memberikan waktu bagi kelopaknya untuk memudar dan berubah warna. Bukankah bunga ini kuat dan mempesona?", pria muda itu tersenyum.

"Maaf, aku mendahului karena aku sudah nyaris terlambat. Nikmati harimu, darling!" katanya sambil berlalu pergi.

Tersenyum, aku menjawab sekenanya, lalu termenung memikirkan perkataannya. 

Life span bunga ini memang singkat. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, sakura mekar sepenuh jiwa begitu kesempatan pertama untuk berbunga tiba. Sementara, pohon lain yang masih tertidur memberinya kesempatan untuk show off secara optimal tanpa ada tandingan. Lalu, ketika pohon yang lain mulai terbangun, sakura diam-diam berguguran tanpa membiarkan kelopak bunganya layu dan rusak, memberi pohon lain kesempatan untuk men-display kecantikan masing-masing.

Benar. Dari sisi lain, bunga ini kuat. Dan mempesona.
Dan aku jadi teringat dengan filosofi zen yang mengaitkan sakura dengan hidup manusia. 

Waktu di tangan kita terbatas, sehingga sudah selayaknya untuk dijalani seperti sakura: memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, 
mengejar setiap kesempatan yang ada, 
memberikan manfaat pada semua,
juga memberikan kesempatan bagi sesama,
lalu ketika tiba saatnya, semoga bisa pergi dalam keadaan mulia, gugur tanpa memudar.

Bunga ini luar biasa, kan?
Dari sekumpulan kuntum-kuntum kecil yang gemulai, ada banyak hal besar tersimpan yang kadang luput dari perhatian.

Di luar dugaan, musim semi pertamaku memberiku pelajaran berharga tentang hal yang sering terlupakan.