Monday 27 April 2015

Sepotong Cerita Konyol dari Masa Lalu

30 November 2009. I had done a big and terrible mistake.

Nda seperti hari-hari biasanya, saya siang itu berangkat ke kampus lewat jalan belakang. Begitu sampai halaman belakang, langsung disambut sama langit yang biru --yang bahkan mendung pun tak ada-- dan angin yang berhembus pelan. Tak ada siapapun, benar-benar sepi and sunyi. It's supposed to be a great and fine day.

Tapi, keindahan itu berada di atas mata pedang yang rapuh. Bertahan hanya sekejap bagai fenomena Diamond Dust (yang nda tau, Google dewe ya)

Halaman itu tak terawat, dipenuhi semak belukar dan rerumputan. Bahkan pagar pun tak ada. Awalnya saya tak menyadari adanya keanehan di situ, sampai akhirnya sesuatu mengganggu.
Angin yang berhembus lambat laun mengantar aroma aneh yang sama sekali tak menyenangkan. Anyir, nda enak blas. Saya memperhatikan kiri kanan, mencari-cari di mana asal bau terkutuk tersebut. Dan mata saya tertumbuk pada sebuah sudut di halaman itu.

Sudut itu tidak berumput, seperti habis digunakan untuk menimbun sesuatu. Tanahnya masih terlihat lumayan baru. Karena terlalu sering membaca Conan, jadi langsung kepikiran yang tidak-tidak. Tapi... ah, paling cuma perasaan saja.

Saya memantapkan diri melangkah maju, satu, dua... dan pemandangan yang terlihat di jalan setapak itu membuat mual. Bercak-bercak darah masih tercetak di mana-mana. Tak perlu zat kimia untuk membuktikan reaksi Luminol yang pasti betebaran di situ.

Mual dengan aroma anyir (yang baru saya sadari itu adalah aroma khas darah yang muncul dari bekas pembantaian gila-gilaan) dan darah yang membekas di rerumputan, di tanah, di batu, di mana-mana, saya buruan kabur dari tempat itu, sebelum sempat diketemukan oleh orang lain. Pontang-panting, mungkin seperti Ikal-Arai-Jimbron yang dikejar Pak Mustar di opening Sang Pemimpi.

Crime scene macam apa yang sekejam itu?! Bahkan para pelakunya pun tak mau bersusah payah untuk sekedar menghilangkan jejak... Ah!

Kapok saya lewat tempat itu. Jangan-jangan sebagai saksi, nanti.... Ukh. Membayangkannya bikin tambah mual.

Setelah lumayan jauh, saya baru menyesal. Ya.
Saya sudah salah pilih jalan. Saya tak seharusnya lewat halaman belakang yang sepi macam itu. Seharusnya tadi lewat gerbang depan saja.
Sehingga tak perlu mual.
Sehingga tak perlu lari pontang-panting.
Sehingga tak perlu melewati tempat itu...








tempat...
penyembelihan sekelompok kambing dan sapi untuk dijadikan hewan kurban.

No comments:

Post a Comment