Tuesday 23 June 2015

Tuhan Tahu, tapi Menunggu


Mungkin semuanya karena faktor "kebiasaan". Bisa jadi saya memang orang yang terbiasa selo dan slow, yang terbiasa memiliki waktu ekstra, yang terbiasa hidup nyaman dan santai di jalan:
...di mana transportasi bukan menjadi beban pikiran;
...di mana berangkat sekolah, kuliah, maupun bekerja dalam tenggat waktu 5 menit sebelum "jam deadline" pun tidak akan pernah terlambat;
...dan di mana berangkat ke bandara dalam waktu 1,5 jam dari jadwal lepas landas pun masih punya waktu lebih dari cukup untuk check in lalu ngopi cantik sebelum boarding.

Saya butuh waktu lima tahun untuk sepenuhnya memahami ini.

Lima tahun lalu saya sangat berkeinginan untuk mengejar impian, oleh karenanya saya melamar pekerjaan satu di kantor impian yang memang berada di Ibukota Negara yang sangat dinamis.
Di sisi lain, saya juga melamar pekerjaan dua yang berada di mantan Ibukota Negara yang santai dan nyaman.
Sungguh dua kota yang sangat bertolak belakang.
Ini mungkin terdengar songong, tapi lamaran pekerjaan nomor dua waktu itu memang hanya sebentuk keisengan mengisi waktu luang, yang bahkan bukan termasuk dalam daftar rencana B, C, maupun Z milik saya. Simply put, sekedar out of curiosity dan mengikuti ajakan teman.

Tapi sepertinya "seisi semesta men(i/du)kung" sehingga akhirnya saya bekerja di tempat saya saat ini.

Pengumuman pekerjaan satu sangatlah terlambat, jauh dari jadwal semula. Sementara, tanpa dinyana pekerjaan dua mengumumkan hasil seleksinya lebih cepat. Saya bimbang, karena tenggat konfirmasi pekerjaan dua sangat dekat, sementara pekerjaan satu tak kunjung ada kabarnya sedikitpun.

Maka saya putuskan untuk mengambil pekerjaan dua, dengan pertimbangan daripada lepas dua-duanya. Tetapi, tak disangka pekerjaan satu mengumumkan hasilnya tepat sehari setelah saya mengonfirmasi kesediaan bekerja pada pihak penyelenggara seleksi pekerjaan dua, yang bila dibatalkan akan ada konsekwensi legal menanti.

Duh.
Saya menyesal. Sungguh menyesal.
Bahkan dalam lima tahun terakhir ini masih sering saya menyesali keputusan yang waktu itu saya ambil. Saya masih sering berpikir, seandainya begini, seandainya begitu.

Banyak orang mengingatkan saya bahwa semestinya saya bersyukur karena pekerjaan dua juga tak mudah didapat. Saya tahu, karena ada banyak hal baik yang terjadi sebagai konsekwensi saya memilih pekerjaan dua.
Tetapi tetap saja di dalam hati masih ada rasa yang mengganjal, karena saya merasa bahwa semua yang terjadi dalam hidup saya too easy dan too smooth dan saya menyesal tidak men-challenge diri saya sampai batas yang saya inginkan.

Lalu hari ini, 23 Juni 2015, sepertinya Tuhan menjawab penyesalan saya secara gamblang tanpa tedeng aling-aling.

Sebelum saya mengalami kejadian hari ini, banyak teman saya yang kebetulan bekerja di Ibukota (dengan bidang yang tak jauh beda dari perkerjaan satu yang dulu saya incar) selalu komplain bahwa mereka ingin kembali ke kota asal karena merasa bahwa jalanan ibukota tak bersahabat. Saya tahu, tapi tetap jauh dalam hati saya merasa tak yakin karena, berdasar pengalaman saya ke sana sejauh ini, kemacetan Jakarta tak parah amat dan masih bisa saya tolerir (mungkin waktu kunjungan saya ke sana selalu bertepatan dengan off peak hour sehingga jalanan hanya padat merayap, atau mungkin juga karena faktor waktu kunjungan yang biasanya hanya singkat. Yang jelas, komplain ini tak membuat penyesalan saya berkurang). Ditambah lagi dengan masih banyak teman saya lainnya yang menikmati bekerja di kota ini.

Lalu hari ini, untuk pertama kalinya saya mengalami kemacetan yang di luar dugaan. Menurut saya parah, karena jarak tempuh yang seharusnya 1-1,5 jam menjadi hampir 2,5 jam. Namun sepertinya itu hal yang wajar bagi bapak supir taksi yang saya naiki, karena tak terlihat beliau gelisah (atau apakah karena lama kemacetan berbanding lurus dengan angka argo maka beliau terlihat tenang? Entahlah), sementara saya sudah berasa di neraka, baik karena faktor ego dan juga faktor argo.

Saya menuju bandara, tapi ke-emosi-an saya bukan karena panik dikejar pesawat (karena menuruti saran teman, saya berangkat 5 jam sebelum jam lepas landas). Saya hanya tak suka menunggu sambil terjebak di dalam mobil tanpa bisa berbuat apa-apa, di tengah sekumpulan mobil lain yang juga mengalami hal serupa. Saya lebih baik menunggu lama di bandara, karena paling tidak saya bisa jalan kesana kemari atau sekedar duduk mengamati penumpang lain yang lalu lalang.

Tapi nyaris tiga jam di jalan itu...
Oh. My. God.
Simply unbearable.
Baru sehari. Baru sekali. Namun saya rasanya sudah seperti ini. Apa jadinya jika saya bekerja di sana selama lima tahun ini?
Mungkin saya akan berubah menjadi besi.

Hampir tiga jam terbuang sia-sia,
dan sekian ratus ribu rupiah juga melayang sia-sia.
(Bukan nominalnya yang saya sesalkan, karena saya akan tanpa pikir panjang menghabiskan nominal yang sama di Periplus. Saya hanya tak rela spending sebanyak itu berubah menjadi asap. Yah, kekesalan saya juga sedikit banyak karena saya menyesal telah memilih taksi daripada Damri, thanks to a certain somebody -- tapi itu tak akan jadi cerita di sini sebab saya masih cukup kesal untuk mengingatnya.)

Sungguh, saya rasanya ingin meledak. Tapi tak mungkin saya marahi bapak sopir taksi karena kemacetan bukan salahnya, juga karena jalan itu adalah jalan terdekat menuju bandara; maka saya jadi kesal pada diri sendiri.

Mungkin saya jadi stres sendiri karena, seperti yang saya tulis tadi di awal, saya lahir dan besar di kota yang transportasinya begitu nyaman, begitu pula kota lain yang menjadi tujuan wisata saya selama ini. Bahkan ketika saya mendapat kesempatan belajar pun negara yang saya tuju terkenal dengan sistem transportasi yang terpercaya.

Atau mungkin karena saya Aries, dan sepertinya saya memiliki trait utama trah pemilik rasi ini: tak bisa menunggu. Bukan berarti grusa-grusu, tapi lebih ke cenderung menyukai kepraktisan dan enggan menghabiskan waktu untuk hal yang menurutnya tidak jelas.

Dan hari ini, untuk pertama kalinya saya benar-benar bersyukur memilih pekerjaan dua.

Mungkin dulu saya menilai diri sendiri hanya dari satu sisi.
Saya yakin bahwa saya bisa menangani pekerjaan di Ibukota, tetapi saya lupa mengukur apakah saya mampu untuk menangani kompleksitas hidup di sana. Saya melupakan faktor kedewasaan emosi.
Tapi sungguh Tuhan memang lebih tahu, sehingga dicukupkanlah saja pengalaman yang tak bersahabat bagi emosi saya itu sebagai selingan dan media mengaca diri alih-alih keseharian.

Mungkin Tuhan memang menginginkan saya untuk tetap selo dan slow, membiarkan saya untuk menghabiskan waktu yang saya miliki dengan melakukan hal-hal yang saya inginkan anytime I want to without being entangled in a limited frame.

#NulisRandom2015
#Day23

P.S.
Saya salut dengan mereka yang masih bisa menjaga keseimbangan jiwa di tengah hiruk-pikuknya Jakarta.
Sungguh kalian luar biasa.

No comments:

Post a Comment