Tuesday 28 April 2015

Dia yang Mengejar Pelangi

Pagi tadi, 
pelangi itu tersungging di langit kelabu
menggantung di atas putihnya hamparan salju.
Tersenyum, tersipu malu.

Siang itu,
pelangi itu menyapamu
di atas dermaga tua di pinggir sungai
di antara perahu kertas 
dan secangkir cokelat panas.

Lalu sore ini,
pelangi itu mencoba merengkuhmu dalam sunyi
dalam hangatnya mentari di lembah yang menguning
di antara semerbak angin musim semi.

Namun malam nanti,
akankah pelangi kembali?

Pelangi ada di sana
dengan senyum tersungging tanpa kata
menggodamu untuk mengejarnya.
Tapi, adakah kau bisa melihat ujungnya?

Leicester, 28 April 2015.

The Colour of Love Is...

If someone asks you what the color of love is, what will your answer be? 
Red? Pink? Yellow? Blue?

Personally, I believe that the colour of love is white.

White?

Yes, just white. Simply white. 
Because any colour, no matter how subtle it is, will clearly visible and recognisable on white.

That shade of blinking pink, which one second it appears and the next disappears, is the heartbeat when I meet my loved one.

The purple lines are longing and loneliness when we are apart.

Those deep red blots appear when we have a fight because of jealousy.

The sparkling yellow in the corner are his smile and laugh.

And then… these bluish traces, which are difficult to erase, were left by the tears when we broke up.

Sometimes, it is difficult to wash away those blue traces. 
But one day, no matter how deep they are right now, another colour will come and repaint them…

Well, isn’t love like that? 
Emotional.

Anger, sadness, happiness, and joy. Sometimes it is not clear which emotion lies upon which one. And no matter how hard you try to hide the feeling, since love is white, your feeling will definitely appear…


P.S.
A repost from my old, forgotten blog with several editing.
However, the original version is in Bahasa Indonesia, written by Velisha in "Good Day Monster", Animonster Magazine #71, March 2005. Translated with several adjustments here and there.

The Wind of the Desert

Groundless fear shadows the sight
as I hear the footsteps of dark knight
approaching; The breath of coldest night
rip and freeze my soul, tear it apart in its fright,
annihilate the life, spirits, and might.

Tick-tock... tick-tock… tick-tock…
Hear! The eerie sound of that ticking clock
echoes, and on my neck Chronos put his Scythe of Time to mock!

Kaleidoscopic world with its brief bond
all will face the Eternal Bond.
Zephyr ends and turns to sandstorm now,
executes me in the midst of its howl.
Kindness is something left behind,
and replaced by desolate mind.
Grim Reaper alike, it breaks the line,
ends the world of mine.


Monday 27 April 2015

Catatan yang Tertinggal dari Hari Ibu

Beberapa waktu lalu, karena sudah merasa homesick level parah, saya menonton ulang film Sang Pemimpi, mengesampingkan fakta bahwa setiap kali menonton film ini saya selalu terhempas remuk redam ke bumi dengan sukses karena ekspektasi saya (yang ketinggian) terhadap film ini tak terjawab dan berlalu begitu saja dengan hampa.
Saya juga mencoba mengesampingkan fakta bahwa--pendek kata--dunia Sang Pemimpi, yang saya bangun berdasar bukunya, hancur luluh berantakan setelah nonton filmnya.

Bukan. Bukan itu yang ingin saya tulis.

Saya mencoba mengesampingkan kekecewaan saya pada film ini.
Karena ada satu hal yang, setiap kali menonton film ini, selalu membuat saya terdiam.
Gagu. Kelu. Rindu.

Ada satu hal yang emosi saat menontonnya sama dengan emosi saat saya baca bukunya: saat ayah Ikal pergi mengambil rapornya dan duduk di kursi belakang, lalu bagaimana Ikal berusaha berlari mengejarnya.

Saya selalu terisak pada adegan ini. Karena saya iri pada Ikal yang masih bisa mengejar Ayahnya. Masih bisa minta maaf dan perbaiki diri.
Sentimen pribadi?
Iya. Benar.

Karena saya tidak mungkin bisa mengejar Ayah saya lalu minta maaf--tak peduli betapa mati-matiannya saya mencoba.

Ayah juara satu seluruh dunia saya sudah pergi sejak saya umur 15. Hanya memberi waktu 15 tahun bagi saya untuk bersamanya (dikurangi masa balita saya, mungkin cuma sekitar 13-14 tahun yang masih bisa diingat).
Dan saya selalu berpikir itu curang. Sangat curang.

Tapi, dari waktu yang 13-14 tahun itu, ada beberapa hal yang sangat membekas.
Saya kelas 3 SMP, catur wulan terakhir. Ayah saya baru 2 minggu pulang dari rumah sakit sejak opname pertamanya. Ayah, yang tadinya gendut dan lucu, saat itu jadi kuruuuuuus banget. Dua minggu pulang, sudah memaksakan diri untuk kembali mengajar. Dan tahu-tahu menjemput saya pulang sekolah (padahal dibandingkan sekolah tempat ayah mengajar, SMP saya lebih jauh lagi~~). Waktu itu saya marah-marah ke Ayah. "Ayah baru sembuh, ngapain jemput? Saya masih bisa naik bis!" Tapi dia hanya tersenyum. Curang, kan? Saya jadi terbungkam waktu itu.

Saat lain, waktu pendaftaran SMA. Lagi-lagi Ayah mencurangi saya. Ayah berkeras menemani saya, padahal di rumah masih ada saudara yang bisa mengantar. Dan itu jadi kenangan terakhir saya dibonceng oleh Ayah, karena beberapa waktu kemudian kondisi Ayah memburuk, dan akhirnya 3-4 bulan kemudian dipanggil.

Saya selalu merasa dicurangi, karena Ayah sepertinya tak pernah memberi kesempatan bagi saya untuk membuatnya tersenyum.
Justru saya selalu membuatnya capek.

Ya.
Ayah saya selalu capek teriak-teriak menyuruh saya turun saat saya memanjat pohon di halaman.
Ayah saya juga pasti capek selalu menyuruh saya untuk pakai rok dan bertingkah sedikit "perempuan".
Ayah saya selalu bersedia memanggul saya saat saya ingin nonton labuhan di laut dekat rumah.
Ayah saya juga pasti ada menemani saat saya sedang niat untuk tidur siang, meskipun tugas beliau masih banyak.
Ayah saya selalu saya repotkan setiap kali saya ngambek saat Ibu penataran.
Ayah saya selalu membiarkan saya ngendon berjam-jam di toko buku, yang ujung-ujungnya saya merengek minta dibelikan buku ini itu (meski tidak semuanya dikabulkan, dan belakangan saya baru tahu bahwa itu adalah cara Ayah untuk menunjukkan dan membuat saya belajar bahwa tidak semua keinginan bisa dipenuhi)
Ayah saya rela naik motor ke Borobudur membonceng saya dan Kakak karena saya bilang ingin melihat Borobudur langsung dengan mata saya sendiri setelah saya tenggelam dalam buku tentang Borobudur selama berhari-hari.
Ayah saya juga yang telah mengenalkan arkeologi, candi-candi, dan museum-museum yang ada di Jogja, dan membuat saya jadi seperti sekarang ini.
Dan, it sounds simple, tetapi ayah saya rela untuk berhenti merokok sejak saat Ibu mengandung kakak saya.


Tapi itu belum semua.
Saat Ayah sudah tiada pun, saya masih belum bisa membuatnya tersenyum. 

Saya putus dengan mantan, beberapa bulan setelah Ayah pergi, dan Ayah datang dalam mimpi, membelai kepala saya, bilang bahwa saya akan baik-baik saja.
Ah, bahkan dalam mimpi pun saya masih merepotkannya, dan tak dapat kesempatan untuk minta maaf dan membuatnya tersenyum.

Ayah sudah banyak berkorban bagi saya, untuk memenuhi keegoisan putri bungsunya ini.
Dan,
...seharusnya --andai SMA saya seperti SMA-nya Ikal waktu itu-- Ayah selalu duduk di garda depan tiap kali ambil rapor, sama seperti masa sekolah saya yang sebelum-sebelumnya.
...seharusnya Ayah melihat saya lulus SMA,
...seharusnya Ayah mendampingi saya diwisuda dengan dua selempang di dada.
...seharusnya Ayah ada saat saya diterima bekerja.
...seharusnya Ayah melepas keberangkatan saya sekolah kembali ke negeri seberang.
...Seharusnya Ayah melihat semua itu. Dan Ayah akan tersenyum karenanya, lalu membiarkan saya menggila di Gramedia ( O_o Nah loh... ada kucing di balik semak~~ Nda ding, Gramed hanya sebuah konsekwensi pilihan...)

Tapi, siapa saya, hingga seenak hati mengharuskan semua itu?
...padahal saya tahu dan sadar bahwa tak semua keinginan bisa terpenuhi.

Mungkin saya kangen dengan figur Ayah.
Masa kecil saya jauh dari figur Kakek.
Kakek dari pihak Ayah telah meninggal bahkan sejak sebelum saya lahir. Kakek dari pihak Ibu pun pergi saat usia saya belum genap 3 tahun. Sementara Ayah pergi saat saya 15.

Kadang, kalau melihat Pak SBY muncul di TV, saya berpikir: Apakah Ayah saya akan seperti itu andai masih segar bugar? (Yup. Ayah saya, baik dari postur maupun wajah, memang bagai pinang dibelah dua dengan SBY--terutama hidungnya yang seperti jambu air itu, hehehehehe...)

Terlepas dari itu, kadang saya berpikir, apa yang kira-kira akan Ayah katakan jika melihat saya dari saya SMA hingga saat ini?
Apa yang akan dikatakannya jika melihat saya selama bertahun-tahun sempat dikira pria gara-gara fashion sense saya: selalu berkemeja loose yang seringnya dilapis oblong cowok, bercelana cargo, bersendal gunung, dan tak pernah memiliki rambut yang lebih panjang dari rambut mas-mas yang masih sekolah di Akmil (sering di-spike pula).

Ah, mengingat watak Ayah saya, paling dia hanya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada, dan bilang: "Oalah Dik! Ketoke aku ro ibumu ki nduwene mung anak cacah loro, wedok kabeh..." (Ya ampun Adik! Sepertinya aku dan ibumu hanya punya dua anak, itu pun perempuan semua...)

Ah, bahkan saat ini pun saya membuatnya geleng-geleng kepala lagi~~~

Mungkin, banyak orang bilang apa yang saya lakukan dan saya capai selama ini sudah cukup bisa membuat Ayah saya tersenyum. Tapi bagi saya itu belum.

Maka kawan, bersyukurlah bagi yang masih memiliki ayah-ibu. Lengkap tanpa kurang suatu apa.
Larilah pada mereka, minta maaf dan bahagiakanlah selagi masih ada waktu tersisa.
Dan memang,
Sesuatu akan terasa amat sangat berharga saat sesuatu itu telah lepas dari genggaman...

Anyway,
sejak tadi bercerita tentang Ayah melulu, padahal 
tanggal 15 Maret tahun ini kan Hari Ibu?
Hehehehe...
Tinggal di negeri yang mengirim gift dan kartu ucapan untuk segala peristiwa sudah menjadi tradisi yang membudaya, saya sedikit gegar budaya. 
Ya. Saya dibesarkan di keluarga yang kurang begitu memperhatikan big occasion selain Idul Fitri dan Idul Adha... (^__^)" 

Oleh karenanya, bagi saya, Hari Ibu, Hari Kartini, dan hari-hari lain bukanlah hari istimewa.
Hari Ibu bagi saya adalah setiap hari, selama saya masih bernafas dan masih bisa menikmati mentari pagi.
Karena Ibu saya selalu ada untuk saya setiap hari,
...melalui doa yang dia panjatkan untuk keselamatan dan kesuksesan saya,
...melalui SMS dan telepon yang senantiasa ada, menanyakan kabar saya,
...dan juga melalui kerelaannya menempuh jarak hampir 60 Km PP hanya demi bertemu saya selama 5 menit.

Jika Ibu ada untuk saya setiap hari, kenapa pula saya harus menunggu waktu khusus untuk menunjukkan bahwa saya sayang padanya?

Sama seperti Ayah, Ibu juga telah memberikan dan berkorban banyak untuk saya. Tak terhitung, tak terkatakan.
Dan bersikap "lebih baik dari biasanya" dalam sehari, tak akan sanggup mendeskripsikan betapa saya bersyukur punya super Mom seperti Ibu saya, yang sudah menjadi single fighter sejak 13 tahun lalu, yang tak pernah sekalipun saya lihat beliau bersedih.

Kata Andrea, Ayahku Ayah juara satu seluruh dunia.
tapi kata saya, Ayah Ibuku adalah Ayah-Ibu juara satu seluruh dunia.

Unpopular opinion, mungkin. Tetapi tak ada istilah Hari Ibu bagi saya.
Karena setiap hari adalah Hari Ibu.
Dan bukankah ekspresi sayang tidak mengenal batas kalender?

Sepotong Cerita Konyol dari Masa Lalu

30 November 2009. I had done a big and terrible mistake.

Nda seperti hari-hari biasanya, saya siang itu berangkat ke kampus lewat jalan belakang. Begitu sampai halaman belakang, langsung disambut sama langit yang biru --yang bahkan mendung pun tak ada-- dan angin yang berhembus pelan. Tak ada siapapun, benar-benar sepi and sunyi. It's supposed to be a great and fine day.

Tapi, keindahan itu berada di atas mata pedang yang rapuh. Bertahan hanya sekejap bagai fenomena Diamond Dust (yang nda tau, Google dewe ya)

Halaman itu tak terawat, dipenuhi semak belukar dan rerumputan. Bahkan pagar pun tak ada. Awalnya saya tak menyadari adanya keanehan di situ, sampai akhirnya sesuatu mengganggu.
Angin yang berhembus lambat laun mengantar aroma aneh yang sama sekali tak menyenangkan. Anyir, nda enak blas. Saya memperhatikan kiri kanan, mencari-cari di mana asal bau terkutuk tersebut. Dan mata saya tertumbuk pada sebuah sudut di halaman itu.

Sudut itu tidak berumput, seperti habis digunakan untuk menimbun sesuatu. Tanahnya masih terlihat lumayan baru. Karena terlalu sering membaca Conan, jadi langsung kepikiran yang tidak-tidak. Tapi... ah, paling cuma perasaan saja.

Saya memantapkan diri melangkah maju, satu, dua... dan pemandangan yang terlihat di jalan setapak itu membuat mual. Bercak-bercak darah masih tercetak di mana-mana. Tak perlu zat kimia untuk membuktikan reaksi Luminol yang pasti betebaran di situ.

Mual dengan aroma anyir (yang baru saya sadari itu adalah aroma khas darah yang muncul dari bekas pembantaian gila-gilaan) dan darah yang membekas di rerumputan, di tanah, di batu, di mana-mana, saya buruan kabur dari tempat itu, sebelum sempat diketemukan oleh orang lain. Pontang-panting, mungkin seperti Ikal-Arai-Jimbron yang dikejar Pak Mustar di opening Sang Pemimpi.

Crime scene macam apa yang sekejam itu?! Bahkan para pelakunya pun tak mau bersusah payah untuk sekedar menghilangkan jejak... Ah!

Kapok saya lewat tempat itu. Jangan-jangan sebagai saksi, nanti.... Ukh. Membayangkannya bikin tambah mual.

Setelah lumayan jauh, saya baru menyesal. Ya.
Saya sudah salah pilih jalan. Saya tak seharusnya lewat halaman belakang yang sepi macam itu. Seharusnya tadi lewat gerbang depan saja.
Sehingga tak perlu mual.
Sehingga tak perlu lari pontang-panting.
Sehingga tak perlu melewati tempat itu...








tempat...
penyembelihan sekelompok kambing dan sapi untuk dijadikan hewan kurban.